Ticker

6/recent/ticker-posts

Study Tour Atau Bisnis Terselubung ? Sebuah Kritik Atas Komersialisasi Pendidikan


Toko Slawi Raya ( Opini ) 

Study tour atau kunjungan edukasi seharusnya menjadi momen menyenangkan sekaligus mencerdaskan bagi siswa. Kegiatan ini idealnya dirancang untuk memperluas wawasan, mengasah keterampilan observasi, dan memberikan pengalaman belajar di luar kelas.

Namun, belakangan muncul kecurigaan bahwa beberapa sekolah diduga memanfaatkan study tour sebagai ajang mencari keuntungan finansial, bukan semata-mata untuk kepentingan siswa.  

Baca Juga : https://tokoslawiraya.blogspot.com/2025/05/di-era-digital-aman-dan-nyaman.html

Salah satu indikasi yang sering dikeluhkan orang tua adalah besaran biaya study tour yang terkesan tidak transparan.

Misalnya, siswa diminta membayar Rp2–3 juta untuk perjalanan dua hari, padahal perhitungan akomodasi, transportasi, dan tiket masuk lokasi seharusnya tidak mencapai angka tersebut.

Ketika orang tua meminta rincian, pihak sekolah kerap memberikan jawaban yang tidak jelas atau bahkan menolak memberikan breakdown biaya.  

Pertanyaannya: **Apakah sekolah mengambil keuntungan dari selisih pembayaran ? Jika ya, ini adalah bentuk komersialisasi pendidikan yang tidak etis.

Sekolah seharusnya menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, bukan mencari celah untuk mendulang rupiah dari kegiatan yang seharusnya murni edukatif.  

Tidak jarang, tujuan study tour lebih mirip wisata hiburan ketimbang kegiatan pembelajaran. Misalnya, mengunjungi taman hiburan dengan dalih "belajar sains", padahal tidak ada korelasi signifikan antara lokasi dan kurikulum sekolah.

Hal ini memunculkan tanda tanya: Apakah destinasi dipilih karena kemurahannya ( sehingga sekolah bisa mengambil margin besar ), atau karena nilai pendidikannya ? 


Sekolah seharusnya memprioritaskan lokasi yang benar-benar mendukung pembelajaran, seperti museum, pusat penelitian, atau situs sejarah, bukan sekadar tempat wisata mahal yang minim manfaat akademis.  

Masalah lain adalah kurangnya transparansi dalam penggunaan dana. Jarang sekali sekolah memberikan laporan keuangan resmi setelah study tour selesai.

Padahal, orang tua berhak mengetahui bagaimana uang mereka digunakan. Jika sekolah bersikeras bahwa kegiatan ini murni untuk siswa, seharusnya tidak ada keraguan untuk membuka rincian pengeluaran.  

Sebagai orang tua, Saya  tidak anti study tour. Kegiatan ini penting sebagai bagian dari proses belajar. Namun, saya  keberatan jika study tour dijadikan bisnis terselubung.

Sekolah harusnya fokus pada pendidikan, bukan mencari untung dari orang tua siswa yang sudah terbebani biaya sekolah.  

Solusi untuk menepis dugaan ambil untung adalah melalui Transparansi anggaran dengan cara sekolah memberikan rincian biaya sebelum kegiatan dimulai.  

Disamping itu juga, pemilihan destinasi edukatif, study tour harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, bukan sekadar jalan-jalan.  

Baca Juga : https://tokoslawiraya.blogspot.com/2025/05/sepatu-satuan-perlindungan-masyarakat.html

Pelibatan komite sekolah, orang tua / wali murid serta perwakilan siswa bisa diajak berdiskusi dalam perencanaan dengan melibatkan biro travel yang bisa saja memang telah menjalin kerjasama dengan pihak sekolah. Tak kalah pentingnya juga dilakukan audit keuangan, hal ini tentu saja apabila  diperlukan, pihak independen bisa mengevaluasi penggunaan dana study tour.  

Saya mendukung kegiatan yang bermanfaat bagi siswa, tetapi, saya menolak jika pendidikan dijadikan komoditas bisnis. Saatnya sekolah kembali ke khittah-nya: mendidik, bukan mengeruk keuntungan.( *** ) 

Posting Komentar

0 Komentar